JAKARTA, JENDELAMALUKU.COM – Pemerintah akhirnya mencabut empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang beroperasi di wilayah konservasi Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Keputusan ini diambil setelah bertahun-tahun tambang beroperasi di kawasan yang dikenal sebagai salah satu ekosistem laut terkaya di dunia, menimbulkan pertanyaan besar soal efektivitas pengawasan dan tata kelola perizinan pertambangan di Indonesia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia menyatakan, pencabutan izin dilakukan berdasarkan evaluasi lingkungan, teknis, serta masukan dari masyarakat dan pemerintah daerah.
Namun, fakta bahwa tambang bisa masuk dan bertahan di kawasan geopark menyoroti kelemahan sistem sejak awal.
“Alasannya adalah pertama memang secara lingkungan, yang kedua adalah memang secara teknis setelah kami melihat ini sebagian masuk di kawasan geopark, dan yang ketiga adalah keputusan ratas dengan mempertimbangkan masukan dari pemerintah daerah dan juga adalah melihat dari tokoh-tokoh masyarakat yang saya kunjungi,” ujar Bahlil dikutip dari setneg.go.id, Rabu (11/6/2025).
Pemerintah juga menegaskan akan memperketat pengawasan terhadap izin pertambangan yang masih aktif.
Namun komitmen ini menuai pertanyaan mengingat lemahnya kontrol di masa lalu yang memungkinkan tambang beroperasi tanpa dokumen penting seperti AMDAL dan RKAB.
“Jadi amdal-nya harus ketat, reklamasinya harus ketat, tidak boleh merusak terumbu karang. Jadi betul-betul kita akan awasi habis terkait dengan urusan di Raja Ampat,” tegas Bahlil.
Ironisnya, perusahaan-perusahaan yang kini dicabut izinnya ternyata bahkan tidak memenuhi syarat administrasi paling dasar.
Ketiadaan dokumen legal seharusnya cukup menjadi dasar pencabutan sejak awal, namun baru ditindak setelah keluarnya Perpres Nomor 5 Tahun 2025.
“Satu perusahaan dinyatakan berproduksi kalau ada RKAB-nya. RKAB-nya itu bisa jalan kalau ada dokumen amdal-nya. Dan mereka tidak lolos dari semua syarat administrasi itu,” tambahnya.
Penertiban ini disebut sebagai bagian dari komitmen sistemik pemerintah dalam membenahi sektor tambang.
Meski begitu, publik masih mempertanyakan mengapa langkah penertiban baru dimulai setelah kerusakan terlanjur terjadi.
“Dua bulan kami melakukan kerja, perpresnya keluar Januari, langsung kami kerja maraton. Dan kita kan melakukan penataannya kan banyak,” jelas Bahlil.
Pemerintah berharap pencabutan ini mengakhiri kebingungan dan polemik yang beredar di masyarakat.
Namun pertanyaan krusial tetap mengemuka: bagaimana izin yang cacat secara administratif bisa lolos dan dibiarkan berlangsung di kawasan yang seharusnya dilindungi?(*)