Apa yang paparkan di atas, basis tolok ukurnya lebih berat ke timbangan normatif.
Pasalnya, para pahlawan kaum Hawa, semuanya dipastikan memiliki hal serupa.
Sebab, tidak mungkin mereka menyandang gelar “Pahlawan Nasional”, tanpa memiliki karakter tersebut.
Lantas, apa kelebihan paling spesial yang dimiliki Kartini, (kebetulan) tidak dimiliki mereka (para pahlawan kaum Hawa lainnya)? Tentu banyak sekali.
Kalau disebut karena dia sebagai pelopor “emansipasi wanita”, pada tataran aktualisasi di lapangan semua pahlawan kaum Hawa sesungguhnya adalah pelaku yang sama (pelopor “emansipasi wanita” walau dengan cara yang berbeda-beda).
Jadi bicara “emansipasi wanita” sangat universal adanya.
Boleh jadi, satu dari sekian maziyah yang dimiliki Kartini, sementara ia tidak dimiliki oleh deretan para pahlawan kaum Hawa di atas, bahwa betapa seorang yang dijustifikasi oleh kaum imperialis sebagai inlander yang dianggap tidak memiliki kelebihan apapun, ternyata Kartini mampu membelah atmosfer dunia akademis.
Wujudnya, dia mampu mengekspresikan segala kegundahan dirinya karena tindakan imperialis lewat surat-surat yang ditulis tangan dalam bahasa Belanda, yang dikirimkan kepada sahabat penanya yang ada di Belanda yang notabene mereka adalah sosok orang-orang bergengsi.
Terungkap dalam tulisannya yang disampaikan kepada Stella tertanggal 25 Mei 1899, “Renungan tentang dan untuk Bangsanya (1979) yang diterjemahkan Sulastin Sutrisno:
“Saya ingin sekali berkenalan dengan seorang ‘gadis modern’, yang berani, yang mandiri, yang menarik hati saya sepenuhnya. Yang menempuh jalan hidupnya dengan langkah cepat, tegap, riang, dan gembira, penuh semangat dan keceriaan.”
Berdasarkan data yang dihimpun Kompaspedia, menjelang akhir hayat Kartini (1904), tidak kurang dari 246 surat yang dia tulis.
Setelah dianalisis ada sebanyak 155 surat-surat Kartini yang ditulisnya untuk teman-temannya di Negeri Belanda, yang berisi tentang pemikiran-pemikirannya mengenai pendidikan wanita.
Surat-surat itu kemudian dikumpulkan oleh Mr. J. H. Abendanon dan diterbitkan pada tahun 1911 dengan judul “Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang). Buku tersebut menjadi “best seller” yang mengalami beberapa kali cetak ulang.
Ternyata, fenomena Kartina tidak sekedar identik dengan khas baju “kebayanya” yang biasanya dikenakan oleh sementara kaum Hawa setiap memperingati Hari Kartini (tanggal 21 April).
Tetapi lebih dari yang sesungguhnya, dia adalah pelontar gagasan yang berbasis akademis.