Kadang dengan takbir yang dilakukan berulang-ulang.
Berpisah dari Ramadan dengan Penuh “Hormat”
Bahkan, tidak jarang sebelum salat berjamaah mereka cari-cari ujung jari kaki jamaah lain untuk “diinjak” agar memenuhi prinsip “connecting” sebagai amalan “sunnah” Nabi.
Kenapa seperti itu? Konon mereka merasa “kurang akrab” dan “segan” dengan Tuhan.
Perbandingan kedua model beragama itu sekedar contoh saja. Lebih pada ingin melihat bagaimana kita menempatkan cara pandang kepada Allah, Zat yang maha Pengasih, Penyayang, Pemurah, dan Pengampun dalam proporsi yang pas.
Dalam sebuah hadis Nabi disebutkan: “Sesungguhnya kasih sayang-Ku mengalahkan Murka-Ku”. (HR. Muslim).
Artinya, Allah Dzat yang maha Asyik, Maha Baik, tidak pelit, dan tidak “mudah” murka, sebagaimana lebih banyak digambarkan oleh kaum literal.
Dalam QS: Qaaf: 16 ditegaskan bahwa keberadaan Allah dengan diri manusia lebih dekat dari urat nadi (wa nahnu aqrabu ilaihi min hablil-warid).
Artinya, Allah sungguh sangat dekat dengan manusia, yang sepatutnya kita memandang-Nya tanpa perlu jarak pemisah. Layaknya seorang “sahabat” kita perlu menempatkan Allah sebagai sosok yang sangat menyenangkan, sangat support atas semua persoalan hidup kita. Sehingga, kondisi apapun, kita bisa bercengkrama dengan-Nya, meminta tolong dan perlindungan langsung kepada-Nya serta segan “berkhianat” kepada-Nya.