Karenanya, cara pandang kita kepada Allah sebagai sosok yang “mengasyikkan” tentu sangat penting.
Cara kaum sufi memandang Allah tanpa jarak telah membentuk kepribadian yang lembut, baik, dan memandang makhluk lain dengan penuh cinta kasih.
Tiada sedikitpun rasa benci bahkan kepada pihak yang menyakiti mereka sekali pun. Kenapa? Karena antara dirinya dengan diri Tuhan telah menyatu dalam kesejatian dan keluhuran sifat-sifat-Nya.
Kisah “keakraban” Tuhan dengan Nabi Musa sebagai “kekasih-Nya” diceritakan dalam kitab Fathul Majid, Syarkh ad-Durrul Farid fi Aqa’idi Ahlit Tauhid, salah satu karya Syaikh Nawawi disebutkan: Suatu hari Nabi Musa as. mengadukan derita sakit giginya kepada Allah. Kemudian Allah memerintahkan untuk mengambil beberapa helai rumput di suatu tempat.
“Letakkan rumput itu pada gigimu yang nyeri,” kata Allah.
Seketika itu sakit giginya reda. Selang beberapa waktu kemudian, sakit gigi Nabi Musa kembali kambuh.
Tanpa mengadu kepada Allah, Nabi Musa langsung menuju padang rumput yang pernah didatangi beberapa masa silam.
Lalu ia mengobati giginya dengan rumput seperti praktk yang pernah dilakukannya. Bukannya sembuh, malah sakit giginya semakin menjadi (parah).
Dan Nabi Musa pun bermunajat lagi kepada Allah: “Nabi Musa as. berkata: ‘Tuhanku, bukankah Engkau memerintahkanku dan menunjukkanku untuk ini?’
Lalu Allah menjawab, ‘Aku-lah Sang Penyembuh. Aku-lah pemberi kebaikan. Aku-lah yang mendatangkan mudharat. Aku pula yang mendatangkan kemaslahatan. Pada sakitmu yang pertama, kau mendatangi-Ku. Karenanya, Ku-sembuhkan penyakitmu. Tetapi kali ini, kau langsung mendatangi rumput itu, bukan mendatangi-Ku.”
Kisah antara nabi Musa dan Allah tersebut menunjukkan “keakraban” hubungan keduanya.
Saat nabi Musa butuh pertolongan karena sakit gigi, Allah langsung memberi “resep” ampuh hingga langsung sembuh.
Namun, Allah seperti “nyandain” nabi Musa saat beliau ingin berobat lagi dengan resep sama tapi tanpa izin dari Allah. Cara Musa tersebut tidak diridhai Allah padahal Musa adalah “kekasih-Nya”.
Lalu nabi Musa meminta ampun kepada-Nya dan Allah mengampuninya. Sebuah relasi antara makhluk dan Sang Khaliq yang sangat asyik.
Nah, dalam konteks kehidupan kita, munculnya sikap beragama yang kaku, mudah menge-judge orang lain disebabkan karena cara pandang kita kepada Allah sebagai Tuhan yang “menakutkan” dengan kemahakuasaannya.
Tuhan yang memiliki aturan-aturan keras dengan ancaman-ancaman siksa neraka.
Dalam kitab suci, Tuhan memang menyebut “inna ‘adzaabi la syadiid”, sesungguhnya siksa-Ku sangat pedih.