Karenanya, cara pandang kita kepada Allah sebagai sosok yang “mengasyikkan” tentu sangat penting.
Cara kaum sufi memandang Allah tanpa jarak telah membentuk kepribadian yang lembut, baik, dan memandang makhluk lain dengan penuh cinta kasih.
Tiada sedikitpun rasa benci bahkan kepada pihak yang menyakiti mereka sekali pun. Kenapa? Karena antara dirinya dengan diri Tuhan telah menyatu dalam kesejatian dan keluhuran sifat-sifat-Nya.
Kisah “keakraban” Tuhan dengan Nabi Musa sebagai “kekasih-Nya” diceritakan dalam kitab Fathul Majid, Syarkh ad-Durrul Farid fi Aqa’idi Ahlit Tauhid, salah satu karya Syaikh Nawawi disebutkan: Suatu hari Nabi Musa as. mengadukan derita sakit giginya kepada Allah. Kemudian Allah memerintahkan untuk mengambil beberapa helai rumput di suatu tempat.
“Letakkan rumput itu pada gigimu yang nyeri,” kata Allah.
Seketika itu sakit giginya reda. Selang beberapa waktu kemudian, sakit gigi Nabi Musa kembali kambuh.