Lalu nabi Musa meminta ampun kepada-Nya dan Allah mengampuninya. Sebuah relasi antara makhluk dan Sang Khaliq yang sangat asyik.
Nah, dalam konteks kehidupan kita, munculnya sikap beragama yang kaku, mudah menge-judge orang lain disebabkan karena cara pandang kita kepada Allah sebagai Tuhan yang “menakutkan” dengan kemahakuasaannya.
Tuhan yang memiliki aturan-aturan keras dengan ancaman-ancaman siksa neraka.
Dalam kitab suci, Tuhan memang menyebut “inna ‘adzaabi la syadiid”, sesungguhnya siksa-Ku sangat pedih.
Namun, penekanan kalimat itu hanya ingin menegaskan bahwa selain ke-Mahamurahan-Nya, Allah juga memiliki sifat tegas bagi mereka yang berperilaku “berlebihan”.
Hal ini untuk menunjukkan kepada makhluk-Nya memiliki “wibawa” yang mutlak.
Cara pandang kita kepada Allah akan sangat menentukan corak pembentukan kepribadian beragama seseorang. Lihatlah watak kaum “Khawarij” yang sangat kaku dalam menjalankan ajaran dan keyakinan agamanya.
Dalam sejarah dicatat, kaum Khawarij adalah mereka yang memandang keyakinannya dengan kaca mata kuda.