Namun, dalam waktu tertentu, semua yang diperbolehkan itu ditangguhkan, ditahan terlebih dahulu. Jadi, menahan itu berat.
Hanya orang-orang yang kuat saja yang mampu bertahan dan menahan (berat).
Itu jawaban akal-akalan saya. Namun, saya sendiri tidak puas dengan jawaban tersebut.
Pertanyaan anak teman saya selalu berputar-putar di kepala saya. Akhirnya, saya beranikan membuka kitab-kitab tafsir yang sederhana.
Pertama, adalah Tafsir Al-Syahrastani yang berjudul Mafatih al-Asrar wa Mashabih al-Abrar karya Muhammad Abd Al-Karim Asy-Syahrastani (w. 548 H).
Menyambut Malam Lailatul Qadar, 10 Malam Terakhir Ramadan
Kedua, Tafsir Al-Qur’an al-Karim wa I’rabuhu wa Bayanuhu karya Syekh Muhammad ‘Ali Taha Ad-Durrah (w. 2007 M).
Dalam Tafsirnya, Asy-Syahrastani menjelaskan bahwa puasa bukanlah syariat yang dikhususkan untuk umat Islam, tetapi juga diwajibkan kepada umat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana QS. Al-Baqarah/2:183.
Penjelasan tersebut—masih menurut Asy-Syahrastani—menunjukkan bahwa puasa adalah ibadah yang berat bagi badan (manusia). Namun, puasa menjadi mudah atau ringan pelaksanaannya karena kewajiban puasa ini ditimpakan kepada semua umat (bi ‘umumi fardhihi).