Imam Fakhruddin Ar-Razi menafsirkan bahwa puasa mewariskan takwa (bagi yang melakoninya), yang bentuknya berupa penaklukan syahwat dan pengendalian hawa nafsu. Puasa juga menghalangi seseorang bersikap angkuh dan berlaku keji.
Hal itu dikarenakan puasa berfungsi sebagai pengendali syahwat perut (lapar-haus) dan farji (jima’).
A-Razi memandang bahwa makna la’allakum tattaqun adalah supaya kalian bertakwa kepada Allah dan meninggalkan syahwat.
Sebab sesuatu yang begitu disenangi cenderung susah untuk ditahan.
Kesenangan manusia pada urusan perut dan kawin lebih kuat dari pada urusan lainnya, sehingga jika kalian (umat Islam) mudah melakoni taqwallah dengan meninggalkan urusan perut dan kawin, maka taqwallah dengan meninggalkan urusan-urusan selainnya tentu akan lebih mudah.
Dalam konteks EQ, bahwa puasa menjadi piranti penting untuk melatih pengendalian diri, kesadaran diri dan motivasi untuk berbuat baik dan meninggalkan yang buruk adalah pesan penting dari puasa.
Orang yang puasa harus menjaga lisan dan perbuatan, termasuk dilarang untuk marah dan mengumbar nafsu.
Orang yang berpuasa dianjurkan untuk berderma (bersedekah). Al-Quran dan hadits dengan sangat gamblang telah memandunya.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling gemar bersedekah. Semangat beliau dalam bersedekah lebih membara lagi ketika bulan Ramadhan tatkala itu Jibril menemui beliau. Jibril menemui beliau setiap malamnya di bulan Ramadhan. Jibril mengajarkan Al-Qur’an kala itu. Dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang paling semangat dalam melakukan kebaikan bagai angin yang bertiup,” (HR. Bukhari no. 3554 dan Muslim no. 2307).
Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut sedikit pun juga.(HR. Tirmidzi).
Sementara dengan bersedekah akan membantu mereka yang lemah. Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
“Aku sangat senang ketika melihat ada yang bertambah semangat mengulurkan tangan membantu orang lain di bulan Ramadhan karena meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga karena manusia saat puasa sangat-sangat membutuhkan bantuan di mana mereka telah tersibukkan dengan puasa dan shalat sehingga sulit untuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan mereka. Contoh ulama yang seperti itu adalah Al-Qadhi Abu Ya’la dan ulama Hambali lainnya,”. (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 301)
Puasa melatih diri menjadi orang yang peka sosial. Ketika dia merasa lapar dan dahaga akan menimbulkan sikap mental untuk merasakan orang lain yang lapar.