Politik Nurani
Cukup banyak rezim pemerintahan otoriter di dunia, sesungguhnya penuh aib, dosa, kepalsuan, penghianatan, tapi terus dipertahankan walau menelan korban, dan diambang kehancuran.
Kita memiliki pengalaman selama 32 Orde Baru berkuasa, dimana kebebasan berbicara dibungkam, kebenaran dan keadilan dihianati. Padahal kritikan itu mengandung kebenaran.
Kita bersyukur para mahasiswa berani memperjuangkan kebenaran, walau harus menelan korban wafatnya mahasiswa.
Politik Nurani mahasiswa nyata dalam keberanian para mahasiswa melawan rezim otoriter, berjuang menegakkan kebenaran dapat menumbangkan pemerintahan yang otoriter.
Reformasi 98 awalnya memberi harapan segar bagi rakyat Indonesia.
Namun, setelah 27 tahun jalannya reformasi, belum memberikan perbaikan kehidupan yang signifikan dirasakan oleh rakyat Indonesia.
Masyarakat merasa cemas, jangan sampai “kekerasan” dalam politik mulai tumbuh sebagai jalan penyelesaian masalah.
Musawarah untuk mufakat pun bisa dibalik, pokoknya mufakat dulu, soal musyawarah nanti diatur belakangan.
Maka tidak jarang keputusan politik terlebih dahulu dibuat, baru legitimasi hukumnya (Undang-undang) kemudian dengan cepat disahkan, jauh dari semangat demokrasi deliberatif.
“Kekerasan” politik sebagaimana dialami dalam peristiwa wafatnya Yesus Kristus bukanlah budaya politik yang beradab, dan dalam konteks negara kita bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila (Sila IV).
Politik Nurani, beradab adalah mereka yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran. Nabi Yehezkiel menulis, “Jauhkanlah kekerasan dan aniaya, tetapi lakukanlah keadilan dan kebenaran (Yeh. 45:9). Keshavan Nair, seorang pemikir dan pengagum Mohandas Karamchand Gandhi, mengatakan, budaya kekerasan dalam politik harus dijauhi, perlu membangun suatu ideologi yang menjunjung tinggi kebenaran, mengabdi pada kemanusiaan, menolak ketidakadilan dan eksploitasi manusia dan sumberdaya alam, dengan mengedepankan politik nurani.
Semangat dan ideologi semacam ini sama dengan ajaran kasih Yesus yang berani menghadapi kekerasan, konspirasi politik pada zaman-Nya. Dan ketika Yesus dihadapkan pada pengadilan Pilatus, Ia menjawab; “benar”, saya adalah raja, dan Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini”, (Yoh 18: 36).
Politik Nurani, kesaksian Yesus akan kebenaran membuat Dia harus wafat di kayu disalib.
Wafat Yesus Kristus memberikan kita inspirasi, dan keyakinan bahwa kematian tidak meniadakan hidup, Tuhan menunjukkan bahwa kebenaran tidak dapat dipisahkan dari pengorbanan dan kasih.
Pernyatan Yesus, “kebenaran akan menyelamatkan kamu”, mengingatkan kita dalam menghadapi masalah ketidakadilan dalam berbagai aspek kehidupan. Kebenaran seringkali dihadapkan pada kekuasaan dan kepentingan, sehingga banyak orang yang memilih tutup mulut, tidak berani berkata benar, dan bahkan memilih masuk dalam lingkaran politik “kekerasan” menjadi bagian dari ketidakadilan. Inilah cerminan tata kelola kehidupan politik yang kurang berkeadaban, ketika relasi kekuasaan; Yudikatif, Eksekutif dan Legislatif bersekongkol dan dapat menghasilkan putusan pengadilan, atau produk Undang-undang yang seringkali melukai rasa keadilan masyarakat.