LANGGUR, JENDELAMALUKU.COM — Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kabupaten Maluku Tenggara (Malra) menyampaikan apresiasi terhadap Ketua DPRD Provinsi Maluku, Benhur Watubun, atas sikap tegasnya menolak aktivitas pertambangan oleh PT Batulicin Beton Asphalt (BBA) di kawasan Nerong, Kecamatan Kei Besar Selatan.
Ketua DPC GMNI Malra, Ari Lusubun, menilai respons cepat Ketua DPRD Maluku merupakan bentuk keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat dan perlindungan terhadap lingkungan hidup serta tanah adat di Pulau Kei Besar.
“Kami memberikan apresiasi terhadap sikap Ketua DPRD Maluku, Benhur George Watubun secara kelembagaan yang merespon cepat keluhan masyarakat Malra,” ungkap Ari, Sabtu (21/6/2025).
Menurutnya, keberanian lembaga legislatif provinsi dalam menyikapi aktivitas pertambangan ilegal mencerminkan sikap kritis terhadap praktik industri ekstraktif yang berpotensi merugikan masyarakat dan lingkungan dalam jangka panjang.
“Pasalnya, aktivitas tambang yang dilakukan di atas lahan seluas 90,82 hektare tersebut tidak hanya berpotensi merusak secara permanen ekosistem darat dan laut di Pulau Kei Besar,” tegasnya.
GMNI Malra juga menyoroti minimnya partisipasi masyarakat lokal dalam proses sosialisasi AMDAL, serta ketidakjelasan dokumen perizinan yang dimiliki oleh perusahaan.
“Di sini, keterlibatan masyarakat sangat minim dalam proses awal, termasuk sosialisasi AMDAL. Karena itu, kami menyambut baik langkah cepat DPRD Maluku merespon aspirasi masyarakat,” lanjut Ari.
DPRD Maluku Tolak Aktivitas Tambang di Malra
Sebelumnya, Ketua DPRD Maluku, Benhur George Watubun menyatakan bahwa hampir seluruh fraksi di DPRD Provinsi Maluku sepakat untuk menolak aktivitas penambangan oleh PT BBA di Maluku Tenggara.
“Semua fraksi DPRD Maluku hampir sepakat untuk menolak PT. Batu Licin dan Beton Aspal (BBA),” ujar Benhur, Selasa (17/6/2025) lalu.
Benhur menegaskan, aktivitas tambang tersebut tidak memiliki izin reklamasi dan telah mengakibatkan kerusakan signifikan terhadap salah satu pulau di Ohoi Nerong, Kecamatan Kei Besar Selatan.
“Saya kira DPRD sudah mengutus Komisi II untuk turun berkunjung ke lapangan dan mengecek langsung. Hasilnya, Komisi II mengatakan bahwa Batu Licin itu tidak ada izin,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya perlindungan terhadap daya dukung lingkungan dan syarat-syarat hukum yang harus dipenuhi sesuai Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
“Bukan soal siapa yang memberi izin atau kompensasi lahan, tetapi daya dukung pulau itu sendiri yang tidak memenuhi syarat. Berdasarkan UU, syarat minimal untuk aktivitas tambang di pulau kecil adalah luas daratan 2.000 km², sementara Kepulauan Kei hanya sekitar 1.400 km². Itu sudah jelas tidak memenuhi kriteria,” tegas Benhur.